arlina nurul ikhsani

Rey is in relationship now

Batu beton seberat 10 kg seperti menghantam dadaku. Aku tak percaya melihat tulisan yang tertera di profil facebook Rey. Ini semua seperti mimpi. Mimpi yang datang di siang bolong. Padahal jam di dinding sudah menunjukkan tepat jam 9 malam. Hatiku terasa sangat sakit. Sakit sekali. Sampai aku tak menyadari setitik air mataku jatuh ke pipi. Aku sendiri tak menyadari apa yang ku rasakan sekarang ini. Yang ku rasakan hanya sakit hati mengingat semua yang sudah ku lalui bersama Rey.

Sembilan tahun yang lalu, sewaktu kami duduk di kelas 1 sd, aku dan Rey sangat dekat. Begitu juga dengan orangtua kami. Kedekatan kami seperti kakak dan adik, mungkin Rey menganggapnya seperti itu. Kami sering mengerjakan tugas bersama, aku sering datang ke rumah Rey bersama mamaku, makan kue buatan Tante Sofi mamanya Rey, main playstation berdua, apalagi belanja bareng ke mall favorit kami.

Hari-hari yang ku lalui bersama Rey terasa begitu cepat. Aku dan Rey lulus SD dan akan meneruskan ke SMP. Aku dan Rey daftar di SMP yang sama. SMPN 139 Jakarta. Tapi keberuntungan hanya berpihak kepadaku, Rey tidak diterima di sekolah yang kami inginkan. Hari berikutnya Rey daftar di SMP Altavia. Dan diterima.

“Lunaaa!” Langkah kaki mama menuju kamarku membuyarkan semua lamunanku.

“Iya ma,” jawabku singkat. Terdengar agak serak suara yang keluar dari mulutku.

“Kamu udah tidur sayang?” kali ini mama sudah di sampingku sambil membelai rambut lurusku.

“Iya ma, sebentar lagi” jawabku sambil berusaha tersenyum.

“Yaudah, jangan malem-malem ya tidurnya. Mama ngga mau kalau kamu telat ke sekolah cuma gara-gara kesiangan.” suara mama yang begitu lembut menasihatiku. Dan aku hanya bisa membalasnya dengan sebuah senyuman yang agak dibuat-buat.

Terdengar suara pintu tertutup. Dan itu berarti mama sudah keluar dari kamar setelah mencium dahiku. Beruntung mama tak menegur aku karena mataku yang sembab setelah menangis selama 2 jam, walaupun aku yakin mama mengetahuinya.

*****

Aku berjalan perlahan ke bangku kosong yang berada sedikit di pojokan kelas. Kelas IX.1 belum begitu ramai. Padahal sudah jam 06.45. Dan seperti biasa Ana teman sebangku ku belum datang. Mungkin dia kesiangan lagi, pikirku.

Pelajaran demi pelajaran berlalu begitu saja tanpa ada ada yang ku perhatikan satu pun. Saat ini otakku tidak bisa bekerja seperti biasanya. Terlalu banyak yang ku pikirkan. Ana yang ada di sebelahku hanya bisa menatapku dengan pandangan menyelidik saat jam pelajaran berakhir.

“Kalo gue perhatiin dari gue masuk kelas sampe sekarang mau pulang, lo diem aja Lun kaya orang sariawan stadium akhir!” celetuk Ana.

Aku hanya bisa menggeleng mendengar ucapan Ana.

“Masih gak mau ngomong? Lo kenapa sih saaaaaay?” lanjut Ana sok lembut.

Menggeleng, lagi! Hanya itu yang bisa ku lakukan. Dan air mataku mulai jatuh lagi.

“Eh…eh… kok lo nangis sih….? Aduh jangan nagis di sini dong Lun, ntar orang ngira gue abis ngapa-ngapain lo.” Ana kebingungan melihat aku menangis. “Sekarang mendingan lo cerita deeh sama gue, siapa tau gue bisa bantu. Tapi jangan pake nangis yaaa…!” lanjut Ana dengan penuh perhatian.

*****

“Oooh jadi itu penyebabnya mata lo bengkak gitu!!” ujar Ana di sela-sela tangisku. Aku sudah menceritakan semuanya pada Ana. “Ya..ampuun Luuun… Itu tandanya lo cinta sama Rey. Kanapa lo gak pernah cerita sama gue? Kalo udah kaya gini kan jadi terlambat. Terus kenapa lo gak pernah jujur sama Rey? Harusnya kan dia tau, biar elo gak sakit hati begini. Elo juga sih nyimpen rahasia sendirian kayak gak punya temen curhat aja!! Gue kan sel…” celoteh Ana seperti kereta api Argo Bromo yang lagi nge-track.

“Udaaah dong Na ngomelnya, sekarang gimana inii?? Air matanya gak mau berhenti niih, sedangkan gue harus buru-buru ke parkiran nyamperin Rey. Dia pasti udah nunggu gue.” Ujarku memotong kalimat Ana dengan terisak.

“Oke oke gue gak akan perotes lagi! Yaudah sekarang kita ke toilet aja, terus cuci deh muka lo yang udah kayak cucian itu. Hehe peace sob” Ana nyengir.

*****

“Gimana Na? Masih keliatan bengkak gak?” tanyaku setelah keluar dari toilet.

“Yaaaah, lebih baik lah daripada yang tadi.” jawab Ana sambil tersenyum setelah meneliti keadaan mataku. Aku membalas senyum Ana yang tulus.

*****

Ana mengantarku sampai ke parkiran karena permintaanku. Dan ternyata benar Rey sudah menungguku. Dia melambai ke arahku. Dan aku membalasnya. Sejak kelas 8 Rey selalu menjemputku jika waktu sekolah berakhir. Salah satu alasannya karena dia bahagia mendapat hadiah MoGe alias motor gede yang sangat ia idam-idamkan sejak ia melihat gambar motor di majalah kakaknya. Alasan yang lain karena dia menyuruhku mengirit uang jajan, dan karena rumah kami hanya berbeda dua blok. Rumahku di blok D dan rumah Rey di blok F.

Setelah sampai di parkiran Ana melambai sambil tersenyum kepadaku dan Rey. Aku dan Rey balas melambai dan tersenyum padanya. Entah mengapa Ana mengacungkan jempolnya padaku. Karena tak mengerti aku hanya membalas dengan senyuman.

Siang ini sikap Rey tidak seperti biasanya. Dia tidak marah saat aku terlambat menemuinya. Biasanya dia akan mengoceh selama setengah jam sebelum menyalakan mesin motornya karena aku terlambat 10 menit menemuinya. Tapi hari ini. Aku terlambat setengah jam. Dia hanya memberikan senyum manisnya dan mengatakan “Naik yuuuk!”. Aneh pikirku.

*****

Aku terkejut saat Rey tiba-tiba menghentikan motornya.

“Loh, kenapa berhenti? Rumah gue kan masih jauh.” tanyaku tak mengerti.

“Abisnya elo dari tadi diem aja Lun. Lo kenapa sih? Harusnya lo bilang makasih dong sama gue. Gue kan gak marahin lo gara-gara lo telat setengah jam, nungguin lo kayak nunggu ayam bertelor tauu!” ujar Rey dengan tampang jahil.

“Iya iyaa maaf. Makasiiiiiiiih Rey yang cakep, pinter, baik hati, rajin menabung, dan tidak somboong” ucapku berlebihan sambil tersenyum.

“Oke oke!! Besok jangan telat lagi yaaa adeeek!!” begitulah panggilan sayang Rey kepadaku. Padahal umur kami hanya beda dua bulan. “Duduk di sana yuuk sambil makan siomay, laper nih gue. Sekalian ada yang mau gue ceritain.” Pasti tentang cewek barunya, pikirku.

*****

Saking lapernya aku dan Rey makan dua piring siomay. Ternyata banyak pikiran dan stress bisa membuat orang kekurangan persediaan makanan di dalam tubuh.

“Rey…” panggilku.

“Ya?” jawabnya sambil melahap siomay terakhirnya.

“Tadi lo bilang mau cerita. Cerita apa?” walaupun akan sakit mendengarnya, aku tetap ingin tahu.

“Oh itu. Aduh gue jadi malu, dek.” jawabnya malu-malu.

“Sama adek sendiri aja malu, gimana sama pacar!”

“Eh si adek udah tau kalo kakaknya yang ganteng ini udah punya pacar?” ucap Rey masih tersipu malu. Astaga!! Kata-kata Rey terdengar begitu menyakitkan di telingaku.

“Ah engga. Tadi cuma ngasal aja kok” ujarku pura-pura tidak tahu.

“Yeee kirain tau!! Iya dek, jadi kakakmu ini udah laku. Udah ada yang mau. Hehehehe”

“Ooh..” aku speechless.

“Kok cuma oh? Ga mau tau namanya nih?” canda Rey.

“Heeem… Siapa cewek yang udah bikin kakakku tersayang ini jatuh cinta?” tanyaku akhirnya.

“Namanya Rara, dek. Dia ketua OSIS di sekolah gue. Baik. Berkerudung. Cantik. Pinter. Perfect deeh. Satu lagi, dia sekelas sama gue. Duduknya persis di seberang gue. Hehehehe…” Rey tersenyum.

“Penasaran. Ada fotonya?” tanyaku.

“Ada ada, nih….” Rey mengulurkan handphonenya kepadaku.

“Iya cantik. Kapan-kapan kenalin yaaah?” pintaku. “By the way, berapa lama lo pedekate-nya sama rara?” lanjutku.

“Gak lama. Cuma sebulan.” Rey nyengir.

Congratulation yaa Rey, elo hebat!” Aku tak tahu harus berkata apa lagi.

“Makasiiih sayaaang.”

Rasanya ingin mendengar panggilan sayang itu sebagai kekasih, bukan sebagai adikmu Rey, batinku.

“Ngomong-ngomong kenapa mata lo dek? Lo abis nangis?” Astaga! Ternyata Rey memperhatikanku.

“Ah gak apa-apa kok. Kayanya tadi kelilipan deh” jawabku gugup sambil mengucek-ucek mataku. “Udah sore nih, pulang yuuuk! Gue banyak tugas.” lanjutku sambil merarik lengan kanan Rey.

*****

Aku menghempaskan tubuhku ke tempat tidur, lalu menutup mataku dengan perlahan, dan sambil berpikir tentang hal yang ku alami saat makan siomay tadi.

Namanya Rara, dek. Dia ketua OSIS di sekolah gue. Baik. Berkerudung. Cantik. Pinter. Perfect deeh. Satu lagi, dia sekelas sama gue. Duduknya persis di seberang gue.” Semua kata-kata Rey tentang Rara bercampur di pikiranku. Begitu sempurnakah Rara? Sampai-sampai Rey sangat menyukainya dan tak pernah melihat aku? Aku hanyalah adiknya. Untuk selamanya hanya adiknya. Kata-kata itu tak akan pernah berubah untuk selamanya, dan aku menyadarinya.

*****

“Pagiii Lunaaaa sayaaang!!! Ayo banguun!! Walaupun ini hari minggu jangan tidur terus kayak kebo. Bangun bangun!!” suara yang sangat ku kenal. Suara itu milik Rey.

“Aaaah siapa siiih pagi-pagi gini udah teriak-teriak di kamar gue? Gak tau apa hari ini hari minggu? Hari di mana semua orang bisa memanjakan dirinya sepuas-puasnya. Do you know abou it, Reynaldi Pratamaaaaa????” sahutku gak mau kalah.

“Yes..yes.. I know. Yaudah kalo gak mau bangun. Padahal gue punya bubur lezat looooh, buatan mama pula. Heeeeeem, enaaaaaaakk bangeeeet!!”

Dari baunya, aku sudah tau kalau Rey membawa makanan lezat. Pada saat itu juga aku membuka mataku dan mengambil mangkuk yang ada di tangan Rey.

“It’s very delicious! Thank you Tante Sofi” ucapku sambil menelan sesendok bubur.

“Jadi makasihnya cuma buat Tante Sofi?” Tanya Rey dengan nada mengejek.

“Oke, makasiiiih abaaaaang! Hahahaha”

“Hah? Abang? Abang becak?” tanya Rey bingung.

“Ahahahahaha, bukaaan. Abang tukang bubur maksudnya!” ucapku sambil menjulurkan lidah. Sementara Rey hanya bisa manggut-manggut melihat tingkahku.

“Rey…” panggilku memecahkan kesunyian.

“Ya? Jangan bilang kalo buburnya kurang?!” candanya sambil duduk disampingku.

“Engga kok.”

“Trus kenapa?” ia menatapku. Tatapan yang membuat jantungku berdetak lebih keras dari biasanya.

“Lo akan tetep jadi kakak gue kan?” tanyaku.

“Yaaa..iyaalaaaah.. kenapa?”

“Kakak yang selalu jagain adiknya?”

“Iyaa”

“Kakak yang selalu diemin adiknya kalo lagi nangis?”

“Iya”

“Kakak yang selalu bantuin adiknya kalo lagi kesusahan?”

“Iya”

“Kakak yang selalu jadiin adiknya nomer satu dari apapun?”

“Iyaaa”

“Walaupun punya pacar yang di cinta banget..nget..nget?”

“Iyaaaaa, adek baweeeel !!” kali ini Rey menjawab sambil mengacak-acak rambutku yang memang sudah sangat berantakan.

Ku letakkan mangkuk yang ada di tanganku. Dan tubuhku menghambur dalam pelukan Rey. Rey yang bingung tetap membalas pelukanku. Sekarang aku mengerti artinya seorang kakak. Aku sudah memikirkanya semalam. Aku tak ingin jauh dari Rey. Satu-satunya cara adalah tetap menjadi adiknya.

“Okee makasih ya abaaaang sayaaang. Gue sayang banget sama elo bang.” ucapku sambil melepaskan pelukan Rey.

“Abang bubur?”

“Abang Reynaldi Pratama!” ujarku sambil tertawa. Rey ikut tertawa. Pagi ini aku benar-benar bahagia. Ini adalah hal yang terindah, memiliki seorang kakak sepertinya.

Mulai hari ini aku akan selalu menganggap Reynaldi Pratama sebagai seorang kakak. Kakak yang selalu ada untukku.

*****

0 Responses

Posting Komentar